Friday, December 25, 2015

Arjuno Welirang (part 1): Kisah Terbentuknya Bendhega

“Naik-naik ke puncak gunung yuk!! Ke Semeru aja, ke puncak tertinggi di pulau Jawa,” ajak saya ke beberapa teman yang semuanya belum pernah naik ke gunung hingga puncaknya. Saya sendiri? Belum pernah juga. Sebuah ajakan iseng nan kurang tahu diri yang berujung adiksi pada pesona alam dan petualangan bersama tim.

Flashpacker, Bukan Backpacker 

Sebenarnya impian perjalanan hingga mencapai puncak gunung sudah lama memenuhi imajinasi petualangan saya. Hanya saja, bayangan tentang realisasi trip model gitu terasa cukup jauh dijangkau. Yang pertama, tentang rekan seperjalanan.
Yang kedua, izin dari orangtua. 

Bagaimanapun juga, saya adalah perempuan dari kota besar yang biasa dengan kenyamanan fasilitas kehidupan urban. Saya jelas belum mampu untuk trip petualangan sendirian. Life-surviving skill sangat minim. Cuma bekal fisik di atas rata-rata perempuan urban umumnya, dan mentalitas tidak akan ngedumel bila ada situasi kurang nyaman.
Dari segi rekan seperjalanan, susah dibayangkan sih, sosok yang bisa menawarkan rasa aman dan nyaman sekaligus bagi saya. Jujur, yang terlintas dalam bayangan saya cukup kontras. Anak pecinta alam yang bisa diandalkan itu yang model tarzan hutan yang emm... aman sih diandalkan untuk urusan life skil surviving, tapi nyamannya? Sebaliknya, teman-teman perkotaan saya kebanyakan memang nyaman diajak hang out atau travelling kondisi kota, tapi diandalkan untuk memimpin rute di tengah hutan atau mendirikan tenda? Lain cerita. 

Hingga akhirnya timbul ide untuk mencari jalan tengah dari segi aman dan nyaman tersebut. Bagaimana dengan mengumpulkan manusia urban dengan segmentasi seperti saya, yang punya angan-angan berpetualang dan punya jiwa seperti itu, tapi terkendala dengan alasan sama seperti saya: nggak kebayang gimana caranya dan dengan siapa pergi ke tempat begituan. Lalu, solusi untuk sosok yang bisa diandalkan dari segi life surviving skillnya, mari kita hire orang saja yang memang mumpuni! Aha! Ide itu terlintas di suatu hari di Februari 2014. Belakangan saya baru tahu bahwa definisi para traveller yang nanggung, backpacker yang masih banci atau masih tidak terlalu menggelandang itu ada istilahnya, flahspacker.Saya rasa itu cocok untuk mendeskripsikan tim perjalanan yang hendak saya bentuk ini.

Melarikan Diri Bersama Bendhega
Saya memulai membentuk tim dengan mengajak teman-teman main zaman SMA. Sebentar terbentuk, lalu rontok terseleksi alam. Alasannya klasik, takut dengan keterbatasan fisik, takut tidak mampu. Dan sebagainya. Yang tersisa Cuma satu butir, dan akhirnya jadi anggota pertama yang bergabung.
Ki-kanan (searah jarum jam): 
brown (simbolis rio si fotografer), chris (bintang tamu), Dee, Ko Adi, Saya, 
Christo, Candra, Singgih

1. Singgih, teman dari jaman jebot SMP, yang memang doyan nge-dance dan lagi getol-getolnya yoga pada masa itu. Badannya lentur seperti karet, fisiknya cukup terlatih, dan langsung mengiyakan ajakan saya untuk naik gunung. Saya bilang “Gampang kok, jalan aja dalam durasi agak lama gitu. Kamu pasti bisa!”
Setelah stock teman SMA habis, saya mulai melempar tawaran kepada beberapa teman se-gereja. Hingga akhirnya terkumpullah empat butir pria ini:

2. Dyan alias Dee, drummer cekatan rekan sejawat pelayanan musik dari SMA. Berkat fleksibilitas waktu bekerja di organisasi nirlaba, belakangan daftar backpackingnya meningkat pesat hingga ke area Indonesia Timur. Namun untuk urusan gunung, portfolionya sama seperti saya, paling pol mencapai Ranu Kumbolo. Belum pernah ke puncak gunung mana pun. FYI, Dyan juga hobi fotografi, dan sangat all out untuk urusan fotografi travelling, khususnya fotografi landscape.

3. Ko Adi, kakak Dee yang berdomisili di Kediri. Saya Cuma pernah bertegur sapa beberapa kali. Kata Dyan, Ko Adi juga tertarik naik gunung.

4. Satrio alias Rio, teman satu komsel dan pelayanan musik yang hobi bersepeda, merupakan arsitek di sebuah perusahaan pengembang di Surabaya. Badannya paling besar di antara kami semua, berikut tenaganya. Sama seperti Dee, Rio juga hobi fotografi.

5. Christo, graphic designer yang hobi foto ‘unik’ khas anak social media dan juga suka travelling.

Nama tim 'Bendhega' sendiri saya pilih menggunakan bahasa Sansekerta. Pemilihan bahasa Sansekerta terinspirasi dari Semeru, yang nama pos nya banyak sekali menggunakan bahasa Sansekerta yang terdengar seksi, simbolis, dan unik.

Bendhega, dari bahasa Sansekerta, artinya teman melarikan diri. Begitu saya lontarkan ke forum, semua langsung setuju dengan nama ini. Profesi kami tidak ada yang sama, tapi misi untuk travelling kali ini semuanya sepakat sehati: untuk melarikan diri dari rutinitas! Haha.

Catatan: tidak ada dari kami yang pernah naik-naik sampai ke puncak gunung. Selain saya dan Dyan yang pernah sampai ke Ranu Kumbolo, teman-teman lain bahkan gak pernah merasakan hiking sama sekali.

It is gonna be interesting! Isn't it?

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...