Sunday, October 11, 2015

The Golden Hour

Was said as the best time for taking picture outdoor. A Short period after sunrise or before sunset.
I try to catch my feeling again on that day.

Ketika terpaan matahari bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Tidak perlu cemas akan terpanggang. Tidak perlu lelah berpeluh kesah. Sinar matahari yang ini terasa hangat, nyaman, dengan gradasi yang begitu pas dan indah.

Perjalanan menapak langkah di Gunung Rinjani yang awalnya diwarnai dengan insiden pesawat gagal landing kini bukan lagi seperti bencana runtuh. Skedul yang serba bergeser menjadi sebuah berkah yang tepat dan sepatutnya disyukuri.

Kata orang, momen macam golden hour tidak selalu bisa didapatkan. Butuh klik dan timing tersendiri dari alam dan hal-hal tak terduga lainnya. Karena sejak awal perjalanan ini tidak dirancang untuk mengejar atau memperhitungkan golden hour, saya merasa makin beruntung. Bisa berada pada tempat yang 'pas' indah ketika golden hour muncul.

Apa yang aslinya memang indah, jadi terlihat jauh lebih indah.

*****
"Kalian lagi asik-asiknya di karir ya!" begitu ujar seorang kawan yang terpaut usia lima tahun di atas saya kepada saya dan rekan lainnya.

Pernyataan yang cukup langka ketika seisi kota dan lini masa media sosial sedang banjir konten update tentang fase hidup berkeluarga dan berkembang biak. Tidak ada yang salah tentunya dengan pilihan hidup yang itu. Yang jadi terasa berbeda adalah ketika pilihan kebalikannya sedang dijalani oleh kaum bergender perempuan. Fokus berkontribusi dalam urusan karir seakan jadi prerogatif punya pria. Bukan isu baru tentunya. Yang agak ironis adalah ketika sudut pandang 'perempuan memang nantinya berperkara dengan hal domestik' itu terus disahkan sebagai kebenaran meski pelakunya mengaku sudah melewati modernisasi edukasi, teknologi, dan berganti generasi.

Dunia kerja seperti punya perlakuan khusus tersendiri. Beda dengan waktu sekolah. Seingat saya, semua orang masih dianggap wajar ketika 'asik-asiknya sekolah.' Asik diskusi tentang topik perkuliahan di dalam dan luar kelas. Asik kerja lembur tugas individu maupun kelompok sampe malam maupun subuh. Asik belajar dan berlatih soal maupun presentasi untuk ujian. Asik berorganisasi dan belajar soft skill lewat kegiatan di luar akademis.

Dengan tidak mengesampingkan tujuan personal setiap orang yang memang berbeda, dogma yang sudah melekat pada sebagian besar masyarakt (let's say pada konteks kota kedua terpadat se-Indonesia ini), bagi perempuan, fase pasca masa wajib belajar kelas menengah ke atas (strata 1) adalah: berkeluarga. Bekerja secara khusus diartikan untuk kesempatan kedua bersosialisasi dan menjaring calon pasangan. Secara umum diartikan untuk mengisi waktu luang. Daripada otak berjamur dan tidak bersosialisasi. Oh ralat, saya lupa kamus besar Bahasa Indonesia sepertinya sudah menambah kosakata baru. Sosialita. Satu lagi pilihan profesi untuk tetap mengisi waktu tenggang dengan tetap fokus pada visi misi tanpa perlu terjebak pilihan lama yang tidak sesuai dengan kemantapan hati.

Saya sendiri pada dasarnya merasa pada jalur yang normal-normal saja. Karena terbiasa all-out ketika fase studi, demikian pada fase ini saya memutuskan untuk melanjutkan budaya yang sama. All out bekerja, berkontribusi, dan berkembang. Komit untuk menjalani tahapan penyesuaian, pembelajaran, hingga tiba waktunya menorehkan karya perubahan. Berubah? Ya, saya selalu punya pemahaman bahwa keberadaan kita pada sebuah pekerjaan harus membawa perubahaan. Perubahan yang baik. Seharusnya dengan adanya saya, tempat ini menjadi lebih baik.

Sayangnya pemahaman saya sepertinya menjadi tidak wajar, ketika masyarakat seraya secara sepakat menganggap bahwa 'perempuan tidak perlu bekerja secara serius. Toh nantinya akan dipinang pria.' Saya tidak hendak membahas terlalu detail tentang pilihan hidup perempuan untuk segera berkeluarga setelah fase studi selesai. Bila siap secara pribadi, finansial, dan segala hal lainnya, tentu tidak ada masalah dan tidak salah. Sebaliknya, saya merasa masa kesendirian pada usia pasca S1 (21-30) adalah masa keemasan untuk fokus mengejar impian pribadi di luar urusan berkeluarga. Entah itu karir, belajar di jenjang yang lebih tinggi atau bidang yang lain, atau travelling ke tempat baru. Belum ada tanggungan keluarga, mulai mandiri secara finansial, mandiri secara pengaturan waktu, dan punya kebebasan menentukan 'ke mana saya akan melangkah habis ini.' Ketika waktu dan finansial murni milik diri sendiri, inilah waktunya all out. All out berkarya, berkembang, berpetualang, menjelajah, dan satu lagi. Berbagi.

Apa nanti ketika sudah berkeluarga hal-hal yang saya sebutkan tadi tidak bisa lagi all out dilakukan?
Saya percaya masih bisa. Tapi tentu dalam kapasitas yang berbeda. Dalam fase yang berbeda, tolak ukur all out tentu sudah dalam kadar kuantiti yang berbeda. Plus, pengorbanan-pengorbanan lainnya.

Sama setiap hari yang punya momen keemasannya tersendiri. Saya rasa setiap fase juga memiliki momen emasnya tersendiri. Yang tidak bisa digeneralisir. Yang punya keindahan berbeda. Begitu kita paham bahwa inilah masa keemasan kita, itu yang terpenting. Jangan sampai menunda dan melewatkan momennya.

Saya rasa tidak perlu cemas dengan keunikan perbedaan waktu yang ada. Sinar matahari tidak selalu menyengat dan membakar. Dalam momen yang tepat, tanpa tabir surya pun, ia bisa tampak indah dan bersahabat.


Alam memang tidak perlu dilawan. Ia punya caranya sendiri untuk memelihara kita. Ia punya waktunya sendiri untuk memukau kita.

Dan kita sepatutnya mensyukuri masa itu. Dan menikmatinya.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...