“From a small thing comes a huge
talent”
adalah eufemisme yang bisa saya sodorkan soal Valencia Leonata.
Teks: Jessica Hanafi. Fotografi:
Paolina Sie. Graphic Design & Digital Artist: Nyoto Leonard K.
SAYA MENGANJURKAN SEKALI KETIKA KAMU LELAH MEMBOLAK-BALIK SOAL BUKU TEORI SOAL KREATIVITAS, MUSIK LAWAS, DAN BISNIS, ATAU BAHKAN LARI MARATON... DATANG SAJA DAN BERBICARALAH KEPADA PEREMPUAN YANG URAT TAKUTNYA JARANG DATANG INI. “LUCUNYA HASIL TES DI PRASETIYA MULYA SOAL KETERTARIKAN AKAN TEORI, NILAIKU ITU 0... ALIAS NGGAK JAGO SOAL ITU SAMA SEKALI,” UJAR VALEN, PANGGILAN KECIL VALENCIA LEONATA YANG BARU SAJA MENGINJAK USIANYA YANG KE 24 TAHUN INI. OKE. SAYA INGIN MEMPERKENALKAN KAMU DENGAN VALENCIA YANG SAYA ANGGAP SEBAGAI PAKET RENYAH YANG BELAJAR BANYAK DARI PENGALAMAN, SAYA PIKIR. SEORANG SAHABAT MEMANGGIL DIA TOMAT, ADA JUGA YANG MENYEBUTNYA POOH ATAU ENERGIZER BUNNY, TAPI BAGI SAYA IA ADALAH VALENCITUN SETAJAM PISAU YANG SUDAH DIASAH LAMA TETAPI JUGA SELEMBUT TISU BERIKLAN BURUNG DARA. SUATU WAKTU, IA BISA MENGHAJAR SAYA DENGAN PROTOKOL YANG SELURUS TIANG LISTRIK DAN BEBERAPA MENIT KEMUDIAN BISA MEMBELIKAN SAYA ESKRIM MCDONALDS DI MANA IA AKAN MEMBIARKAN SAYA MEMILIH RASA ESKRIM SENDIRI. PENGGUNAANNYA AKAN OTAK KANAN SANGAT DERAS DENGAN RITME YANG CEPAT DAN PENGASAHAN OTAK KIRINYA SEFLUID KOPI YANG DITUANG KE GELAS JIKA TIDAK DIHENTIKAN. KOMBINASI YANG JELAS LANGKA.
KRISIS KONDISI PERTEMANAN jarak jauh rupanya tidak berlaku bagi kami
duo the tuns. Serial percakapan bbm yang frekuensinya lebih sering daripada
rutinitas minum kopi kami membuat kami saling bertukar baris demi baris sapaan
pagi, kutipan semangat, curhatan peristiwa minor, tek-tok jemput menerabas hiruk pikuk lalu lintas jakarta, hingga
kepungan ungkapan straightforward
yang membuat saya memutar otak seharian lebih keras daripada yang bisa saya
putar. Suatu pagi yang tenang, tiba-tiba ia menanyakan kabar tesis saya. Lima
menit berikutnya, ia menghujam saya pagi-pagi dengan, “hahaha. Ini perguruan
tinggi negeri terbaik se-Indonesia, rek!
Nggak heran kalau gitu banyak menteri mandul. Ya terserah kamu, tapi aku yakin
kamu bisa jauh lebih daripada itu. Pakai judul tesis seperti itu nggak usah
pakai penelitian aku yakin kamunya pasti sudah ngelontok, tau soro mau njawab apa. Ini tesis. Sayang sekali kalau
dangkal kayak gitu. Ini melorot soro dibanding
skripsimu.” Malam harinya, saya membuat judul proposal tesis baru. Keesokan
harinya, saya hadir dengan outline
bab satu yang baru meskipun judul dan outline
saya yang lama sudah diterima dosen. Sejauh ini, Valencia Leonata sangat bisa
meyakinkan dan mendorong saya mengejar yang paling baik yang bisa saya
keluarkan. Ini bukan juga soal label dan standar sosial. Bukan juga soal
‘menyelesaikan pekerjaan’. Ini soal berpikir dengan sudut pandang yang lebih
jauh. Ini soal keyakinan akan kemampuan diri.
Jika membaca
paragraf satu sepertinya kamu akan mengira ini adalah artikel advertorial atau
latar belakang sebuah tesis pesanan. Saya tegaskan bukan. Senangnya adalah paparan
artikel untuk sahabat memperbolehkan saya untuk sesubjektif dan sebias mungkin
soal profil yang saya bahas. Tapi memang pertemanan menghasilkan itu, kamu
mengalami banyak hal dengan sahabatmu dan mengupas habis lapisan-lapisan bawang
yang melingkupi dia sehingga kalian tidak sungkan berbagi banyak cerita
keberhasilan menyelesaikan pekerjaan hari itu maupun pergumulan soal cinta dan
karir. Sangat mengagumkan rencana Tuhan waktu kamu bertemu dengan sahabat yang
karakternya jelas bertolak belakang (Tun adalah seorang Dominan-Intim dan saya
sendiri padanan Cermat-Stabil) tetapi bisa berpose ‘a la bos’ sewaktu sleepover, saling melirik ketika ada joke yang terputar dengan kadar lucu yang
sama bagi kami, dan bercerita panjang lebar soal pekerjaan, sekolah,
keluarga-sahabat, atau terbahak-bahak soal betapa beruntungnya kami ini yang
menikmati zaman teknologi gila tetapi juga sempat menyesap pengalaman membeli
ayam warna-warni dan setip harum
waktu bubaran SD. Dalam buku teori, itu namanya metakomunikasi.
Saya senang teman
tua bernama metakomunikasi itu memilih kami untuk duduk sebagai kawan sebangku
di suatu periode hidup kami. Bukan hubungan keluarga, bukan karakter, bukan
soal cepat atau lambat cara berjalan kami, bukan sekadar kesukaan, bukan hanya
klaim ‘sejurusan Ilmu Komunikasi di Surabaya dan S2 di Jakarta’ yang membuat
kami bisa cocok. Banyak sekali, terlalu deskriptif kecil-kecil dan lebih rinci
daripada daftar belanjaan Ms. Yenny Fang yang detail. Salah satu yang bisa saya
rangkum dari Tun adalah konsisten untuk berusaha memahami. Jika perang dingin
akibat bahasa BBM dan kelemotan saya
atau ke-grusa-grusu-an Tunzeh dalam
mencerna kata saya, kami berusaha untuk saling menyamakan pengertian. Melegakan
sekali usaha itu masih terpelihara rapi. “Untung ya Tun paling nggak kita ini nyoba untuk saling paham maksud satu
sama lain,” kata-katanya melintas di sudut pikir saya di suatu sore dan kembali
saya bilang ini adalah satu hal ‘sepele’ yang semestinya besar dan
berkepanjangan dampaknya jika diabaikan.
Pagi ini,
saya baru saja membaca selembar surat tradisional yang ia tujukan untuk
saya. Lembaran surat itu akan selalu saya asosiasikan dengan kepulangannya ke
Surabaya dan tanggung jawab di kantor dan di tengah yang kini ia emban
pelan-pelan. Rasanya kontras sekali mendengarkan menit-menit awal rekaman
wawancara yang saya lakukan di kamar berlantai kayu yang penuh Post-It warna-warni di dinding putihnya.
Waktu itu, Tun masih tinggal beberapa bulan lagi menikmati Alam Sutera yang
menjadi tempat tinggalnya dan Jakarta yang menjadi tempat perantauannya selama
hampir dua tahun. Di tengah suara kunyahan keripik pisang rasa coklat, Valen
berceloteh,”Rumah ini cuman sepersepuluh atau seperduapuluh dari ukuran rumah
di Surabaya dan personilnya cuman tiga butir di mana itu cuman seperempat isi
rumah Surabaya. Satu hal yang bisa membuatku belajar menikmati itu karena ada
satu hal yang nggak bisa kudapatkan selama di Surabaya. That’s the freedom. Kesendirian adalah hal baru yang menyenangkan
dan perlahan-lahan menjadi terbiasa dan malah justru menikmati. Makan sendiri
tanpa kelontangan sendok lain membuat
saya berpikir ‘Oh iya ya di sini saya
benar-benar sendirian.”
Ketika kamu ada sendirian, tidak akan ada
perpanjangan tangan yang membelikanmu air minum galon dan mengganti koleksi
tisumu jika gulungannya habis. Untung saja, seperti yang sudah saya bilang,
urat usaha dan keberanian Valen memang jarang putus. Terlepas dari kejutan
hidup di budaya yang berbeda dan lingkungan yang cenderung profesional
ketimbang wirausaha, Valen dengan tegas menyebutkan bahwa dirinya ini memang challenge-oriented. “Aku butuh sesuatu
yang lebih besar, ayo mana? Kalau satu pekerjaan sudah selesai dan mulai
kelihatan hasilnya saya pasti akan haus untuk mencari yang lain lagi,” Tapi ia
juga punya pendapat lain lagi soal itu, “Ternyata yang terjadi malah saya nggak
bisa menikmati padahal menikmati sesuatu yang sekarang ini bukan sebagai besar
kecilnya tapi bagaimana kamu mau appreciate
pengalaman ini sejauh apa?”
Kekontrasan soal
hidup bebas dan bisa melakukan apapun semau
gue itu juga mulai terlihat saat ia kembali ke Surabaya, keluarga, dan
bisnis keluarga. Ia bilang banyak hal kecil yang harus diperhatikan ketika ia
menjadi sebuah pemimpin dalam sebuah bisnis. Tidak ada lagi itu caranya ‘jadi
anak yang punya perusahaan itu jalannya mulus’ seperti yang banyak digaungkan
mahasiswa-mahasiswi kuliah yang memandang ke arah anak pewaris perusahaan
dengan tatapan berbeda (kebanyakan iri akan ‘keinstanan’ itu). Tetapi bukan berarti posisi ini ‘terkutuk’
atau ‘terkungkung’. Kadang kita harus melihatnya dengan perspektif yang lebih
masif. Dan jalan untuk ke situ butuh aplikasi sehari-hari yang nggak mulus dan
jalan yang dilalui pun penuh benturan, bergronjal.
Itu termasuk tidak hanya soal pemindahan kemasan produk menggunakan forklift, pertukangan membenah pintu dan
laci tugel, operasional, sales, atau strategic guidance yang membayangkannya saja kamu merasa mual. Benturan itu
bahkan bisa ‘sesimpel’ soal pegawai yang memecahkan botol jus. “Apa yang
pertama kali kamu lakukan sebagai pemimpin ketika menemui anak buahmu melakukan
itu?” tegasnya seraya mengetik teks BBM secara cepat dengan detail rekonstruksi
kejadian dan pemecahan solusinya.
“Sebanyak
apapun talenta yang kamu punya, kamu harus tetap punya prioritas,” tandasnya
dengan nada yang sedikit meninggi. “Selama ini, aku dikenal sebagai cewek yang
multitalenta. Aku bisa melakukan apa saja dan banyak menerima tanggung jawab.
Apapun seng tak lakukno itu ‘pasti
jadi’. Aku menikmati itu semua di sekolah, gereja, pekerjaan. Maunya nambah
terus. Tapi ketika di sini aku memutuskan untuk fokus kuliah S2 saja, aku merasakan
‘iya ya beda’ karena aku nggak pernah mencurahkan satu waktu untuk fokus
melakukan satu kegiatan saja. Waktu itu aku ketemu seseorang yang lebih tua di
gereja. Dia tahu kalau aku belajar digital
recording, bisa nulis, suka ini itu,
dia bilang gini sama aku, ‘Valen, saya tahu kamu memang bisa apa saja dan
memang seseorang itu harus mencoba apa saja, nggak apa. Tapi kalau suatu saat
kamu mau ‘gede’, ingat kata-kata saya... kamu harus fokus ke satu bidang’.”
“Dulu aku nggak bisa paham karena itu kan omongan
konvensional. Ketika di sini (Jakarta), aku tidak melihat tantangan yang
membuat aku harus multitasking. Aku
sudah achieve banyak hal sebelumnya,
mending aku fokus terhadap apa yang ada. Dan aku merasakan bedanya. Kalau kamu
fokus terhadap sesuatu, secara nggak sadar tidak ada pilihan lain untuk
memikirkan yang lain. Semua energimu itu hanya tercurah di situ saja. Aku harus
belajar memilih. Untuk memikirkan hal yang stratejik, fokus, aku harus belajar
punya prioritas. Di situ aku belajar untuk decide
dan berani mengorbankan di pekerjaan yang mungkin nggak seoptimal kamu
mencurahkan pemikiran ke pilihan pertamamu.” Kalau disuruh memilih, kamu akan
memilih yang mana? “Saya sampai sekarang masih yakin bahwa visi dan calling saya adalah di industri kreatif
dan apapun yang berhubungan dengan mentoring
dan leadership untuk anak muda. Bisa
media cetak dan musik juga. Memilih keduanya pun juga pilihan, ya. Tapi bagi
saya kalau kita menimbang dan mencoba, kita pasti bisa memutuskan prioritas.”
Sekarang prioritas Tunzeh adalah bisnis keluarga
yang kini dipersepsikannya sungguh berbeda setelah mengenyam pendidikan master
di sekolah bisnis unggul ibukota. Ia sangat sibuk memegang jabatan ‘serabutan
tapi tidak semrawut’ untuk proyek
yang besar sehingga terkadang hanya bebas menyentuh Blackberry ketika duduk di
kloset sambil boker. Posisinya
sebagai anak kedua dari ayah pekerja keras dan ibu yang memahami anaknya serta
saudara dominan dari satu cece dan dua
adik, satu perempuan dan satu laki-laki... Rasa-rasanya ia memang ‘ditugaskan’ menjadi
penyambung generasi lewat modifikasi karakternya. Saya ingat, sambil menyesap
kopi Old Town rasa hazelnut di kamar
bertemperatur hangat waktu itu kami melanjutkan obrolan soal perbedaan kultur
dan kebiasaan yang kami hadapi di kota asal kami dengan tempat yang pada waktu
itu kami sama-sama tinggali. Saat itu, Valen punya pendapat yang sedikit samar
tetapi jika ditilik sekarang sepertinya pandangan itu mulai terang. “Ada poin
di mana waktu itu saya merasa walaupun saya merasa cocok dengan banyak hal dan
banyak orang juga di sini. Saya bisa merasakan ‘yang ini beda dengan Surabaya’.
Tidak tahu kenapa tapi akhirnya saya sadar ada latar belakang berbeda yang
melandasi prioritas setiap orang.” Dengan iklim yang penuh para profesional
cerdas dari berbagai latar belakang, Prasetiya Mulya dan Jakarta membawanya
pada secarik pemahaman. Ia bukan kembali ke keluarga dan kampung halaman karena
enggan bekerja untuk orang lain di Jakarta, bukan juga karena tidak ada pilihan
lain, terpaksa, atau merasa ‘tidak perlu susah-susah melamar karena bisnis
keluarga adalah zona yang nyaman’. ‘I
come so that they can enjoy their lives’ adalah kutipan ayat motivasi yang
rupanya ia maknai betul terkait kembalinya ia ke Kapitan. Suatu waktu, di
sebuah Post-It yang ditulisnya
sendiri, “Kapten, Aku Pasti Kembali”, ia tahu betul ayat itu tidak hanya
teronggok di sebuah jurnal yang bisa menguning tetapi akan ia resapi di antara
konflik, direka ulang ketika terbentur problem yang bisa diurai tetapi gampang-gampang
susah untuk dirapikan, direinterpretasi saat suasana hati memanas.
Tenang saja,
soal bunga-bunga di atas... sekali lagi saya tegaskan bahwa kami ini bukan
pasangan seperti yang harum semerbak dibicarakan oleh orang-orang yang
melihat di satu waktu dan ruang perhatian saja. Kami jelas punya cerita cinta
masing-masing dan kami siap berbagi untuk itu. Dia yang tahu sedalam-dalamnya
kesedihan saya memutuskan untuk berbuat sesuatu yang hati saya sangat berat
untuk lakukan. Dia menjemput saya di bandara dari sebuah perjalanan udara dari
kampung setelah saya sedih berkepanjangan, menguatkan hati saya, dan mengajak
saya jujur ke diri sendiri. I thank you
for that. Suatu waktu, ia berbagi soal perjuangannya akan seseorang yang
penuh misteri, naik turunnya suasana berharap, hancur berantakan, hingga
distraksi di kota baru dan alunan ‘Tahu Diri’ milik film Perahu Kertas yang begitu membekas. Seminggu yang lalu ia bilang
kalau ia merasa sudah tua. Bukan karena belum kawin tetapi karena sudah banyak
yang dialami.
Seusai konser Colbie Caillat yang ritme playlist-nya berantakan dan di antara penghayatan lagu A Thousand Years yang sentimental atau sekadar makan malam di Flavor Bliss dan menonton film di Living World... kami memanfaatkan waktu pulang bersama dengan sistem oceh-oceh ‘lek kamu yapa, lho?’. Sesekali, saya memberinya kejutan di jantung akibat pembelajaran setir yang nekat (sudah saya bilang dia suka ‘menghajar’ saya: ‘Tak hajar lho, kon!’) atau dia menyuruh saya diam untuk medan penuh kegilaan di tol BSD. Dan jika saya tidak nggentang, kami mengobrol banyak mengenai teman-teman lama dan yang baru, hidup di kota yang ini dan yang itu. Rekalkulasi rute sering terjadi karena diskusi berlangsung cukup lama, lebih lama dari jarak rumah saya dan Galaxy Mall dan terkadang masih kurang lama pula dari jarak Pantai Indah Kapuk ke Alam Sutera tempat komunitas ayah-ibu cabang Jakarta. Pada hari yang lain kami mengajak satu anggota The Tuns senior, Miss Desi, untuk bincang tak habis-habis di Cafe Pisa Manyar langganan kami di Surabaya. Kami bisa mengabari soal kegilaan bocah-bocah CY Cell dan cerita bisnis harian yang dipertukarkan setiap malam Jumat oleh para ‘bapak-bapak’ dan ‘ibu-ibu’. Yang saya tahu, meskipun kami beda kota, kami bakalan terus begitu :’)
“Kamu rumahnya di
mana?”
“Oh, aku di
Dharmahusada. Kamu?”
“Oalah, aku di Kertajaya. Sama-sama
daerah timur juga, ya! Ya ampun, aku jarang nemu
arek Fikom yang rumahnya di timur.
Kapan-kapan bareng aja kalau kamu nggak ada yang jemput.”
“Wah, mauuu!”
Siang itu kami
tidak pulang bersama karena tidak ada kegiatan kepanitiaan. Atau kami mulai pulang
bersama di keesokan harinya sepanjang yang saya ingat. Tapi, sejauh yang saya
ingat adalah teman yang 15 sentimeter lebih kecil di bawah saya ini mengajarkan
saya untuk punya harapan dan mimpi yang melebihi tinggi badannya dan tinggi
badan saya. Dalam persahabatan empat tahun terakhir ini, sejauh ini dia yang
bisa mengajari saya untuk menuliskan COVER STORY YOU!. Dengan harapan, ada
strategi untuk menyusun langkah-langkah. Di buku yang ditulis, diedit, dan
dipublikasikan dari saya untuk saya ini saya akan mulai menyisipkan banyak torehan,
salah satunya adalah persahabatan dengan Valencia Leonata. Selamat ulang tahun
yang keduapuluhempat, Tunzeh! Semoga kamu tambah tinggi.
*Cover Story You : Valencia Leonata dibuat sebagai proyek estafet dengan proses wawancara, menulis, mengonsep, menata fotografi, digital imaging, dan desain grafis dengan melibatkan empat orang dari dua kota, Surabaya dan Jakarta. Di antara kesibukan pekerjaan, waktu yang tidak berhenti berhenti, penundaan, dan hiruk pikuk sekelilingnya, proyek ini diselesaikan dengan komponen kepercayaan, pertaruhan teman baik, ketawa ketiwi, actual deadline, dan keseryan tersendiri.
*Cover Story You : Valencia Leonata dibuat sebagai proyek estafet dengan proses wawancara, menulis, mengonsep, menata fotografi, digital imaging, dan desain grafis dengan melibatkan empat orang dari dua kota, Surabaya dan Jakarta. Di antara kesibukan pekerjaan, waktu yang tidak berhenti berhenti, penundaan, dan hiruk pikuk sekelilingnya, proyek ini diselesaikan dengan komponen kepercayaan, pertaruhan teman baik, ketawa ketiwi, actual deadline, dan keseryan tersendiri.
No comments:
Post a Comment