Tuesday, February 3, 2015

CLBK : Cinta Lama Berlari Kembali





Banyak yang nanya, "Kenapa sih suka lari?" , "Emang gak bosen ya lari sampe sejam gitu?", "Kok bisa kuat sih lari begitu jauh?" atau "Lari supaya bisa kurus ya?" Menghadapi FAQ begitu, saya biasanya cuma senyum sambil bilang, "Hmm.. sudah suka dari dulu sih." ;)


Gara-Gara Pelajaran Olahraga

Saya pertama kali mengenal lari terus-menerus dalam waktu 'lumayan lama' itu ketika duduk di bangku SMP kelas 1. Guru olahraga saya cewe, orang Timur, sukanya lari. Jadi isinya setiap pelajaran olahraga cuma lari dan lari. Ujian yang diberikan adalah, lari keliling lapangan parkir sekolah sebanyak sepuluh kali dengan waktu tempuh maksimum sepuluh menit. Satu putaran lapangan sekitar 140m, jadi lari 10x 140m = sekitar 1,4 km. Tips yang diberikan dia agar bisa menaklukkan jarak tersebut dalam tempo kurang dari 10 menit sangat sederhana.

 "Teruslah berlari. Jangan pernah berhenti apalagi berjalan. 10 menit pasti bisa tercapai."

Lalu saya coba tips itu. Lari terus-menerus. Lebih baik kecepatan lambat tapi bisa mempertahankan secara konstan terus-menerus dibandingkan lari sangat cepat, tapi tidak bisa bertahan, lalu menurunkan kecepatan, hingga akhirnya berhenti dan berjalan.

Berhasil. Saya masih ingat rekor pribadi lari perdana saya di waktu itu adalah 08.50. Delapan menit lima puluh sekian detik. Saya berhasil masuk kategori LOLOS ujian! Seingat saya dari 15-20 anak perempuan di kelas, hanya ada 3 anak perempuan yang berhasil menyelesaikan 10 putaran tersebut kurang dari 10 menit. Tips sederhana itu terus saya pegang setiap kali saya menghadapi menu ujian atau latihan yang berurusan dengan stamina. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa menaklukkan kemauan untuk berjalan dan memutuskan untuk terus berlari, hingga titik yang sudah disepakati sebagai 'garis finis.'

SMP kelas 3, ujian praktek yang diberikan adalah lari keliling lapangan yang sama dengan tantangan yang berbeda. Lari sebanyak-banyaknya dalam waktu 20 menit. Target yang saya berikan pada diri saya adalah menyelesaikan 20 kali putaran. Berhasil! Berarti sekitar 2,8 km dalam 20 menit. Salah satu pengalaman lari terjauh yang pernah saya tempuh di kala itu. Usia saya sekitar 15 tahun.

Treadmill, Basket, Kompetisi Lari Outdoor
Menginjak bangku SMA, saya mulai mengenal gym dan basket. Lucunya, 'alat' yang paling saya suka mainkan di gym adalah treadmill. Lebih tepatnya, ngegym emang cuma pengen treadmill nya. Pengen lari. Sama halnya dengan ketika ikutan ekskul basket. Lebih suka latihan fisiknya daripada ketika main basketnya di lapangan. Lebih suka disuruh lari keliling lapangan dan lompat katak naik turun tangga dibandingkan latihan dribble, passing, dan shooting, bahkan latih tanding.

SMA kelas 1, saya sempat mewakili sekolah mengikuti semacam PORSENI, lomba lari kelas menengah antar pelajar se SMA Surabaya. di nomor 800m dan 1500m. Saya dipilih guru olahraga kelas karena rekor waktu dan teknik jalan cepat saya termasuk yang terbaik (katanya) di antara siswi lain seangkatan. Waktu ditanya saya biasa latihan apa, saya bilang lari. Di treadmill. Saya menerima ajakan kompetisi tersebut. Halah 800m dan 1500m mah kecil, batin saya. Wong biasa di treadmill, jarak yang saya tempuh bisa sampe 2-3km gitu. Saya lalu coba berlatih. Di treadmill. Saja.

Hari lomba. Lari di track lapangan yang kelilingnya 400m. Jadi jarak 800m ditempuh dengan 2x keliling lapangan. Saya ingat ada sekitar 8-10 siswi yang ikut tanding hari itu termasuk saya. Semuanya pribumi. Posturnya meyakinkan. Demikian juga kostumnya. Priiit! Aba-aba lari dibunyikan, kita semua mulai berlari! Gilaa... rasanya sungguh berbeda dengan lari di treadmill. Panas terik, angin menerpa wajah, pijakan yang terasa beda, suara nafas sendiri yang begitu jelas, belum lagi tekanan psikologis pelari-pelari kiri kanan yang seakan-akan membuat saya 'ketinggalan di paling belakang.' Lewat putaran pertama saya sudah mau menyerah 'kok jadi begini menyiksa ya rasanya.' Lewat putaran kedua, guru olahraga saya ikut menyemangati, meneriakkan aba-aba untuk mulai meningkatkan kecepatan, karena banyak pelari yang juga sudah mulai tumbang. Saya mencoba menambah kecepatan maksimum. Berlari sampai rasanya ingin menangis. Antara ingin cepat, tapi sudah maksimum, dan melawan rasa 'nyeri' yang ada. Saya finish nomor 4. Yang diambil untuk diadu lagi dengan kloter berikutnya adalah 3 yang finis tercepat.

Nggak masalah sih dengan urutan keberapa nya. Tapi entah gimana saya lebih merasa 'shock'. Kok kayak gini ya rasanya lari outdoor? Beda banget dengan lari-lari yang selama ini saya jalani. Pas jalan balik ke bangku pelatih, saya bilang sama guru saya, "Pak, saya nggak mau lanjut lari yang 1500m ya. Saya nggak bisa lari lagi." Itu kayaknya salah satu momen 'mutung' paling menyedihkan saya yang pernah saya alami. Nggak saya banget. Di situ saya merasa, saya nggak suka lari diadu-adu seperti itu. Bukan itu yang saya mau.


Masa-masa kuliah saya sudah malas ngegym dan jarang berolahraga. Sudah tidak ada pelajaran olahraga, peluang untuk lari kayaknya cuma sebatas treadmill aja. Di rumah sih sudah ada treadmill. Dan saya tetap meneruskan kapasitas lari tanpa berhenti dalam durasi 20-30 menit. Tapi problemnya kali ini: bosan. Lari di luar rumah? Entahlah, tidak terbayang sama sekali. Yang kebayang cuma polusi, tingkat keamanan tidak terjamin, dan sebagai-bagainya. Paling terbayang lari outdoor ya di lapangan KONI. Itu aja. Tapi ya, pada prakteknya, tidak terlalu 'fun.' Bosan juga tuh.

Kelebihan Berat Badan dan Nike+
2011, Setahun setelah saya hijrah ke Jakarta untuk studi lanjut, berat badan saya naik sekitar 5 kg dari normalnya. Celana sesak nggak karuan, badan juga berasa berat. Perlu dicatat, berhubung tinggi saya cuma 150cm, kenaikan berat badan sebanyak 2kg itu memberikan efek cukup besar bagi ukuran baju dan celana. Apalagi ini 5 kg. Oke, mau tidak mau saya harus olahraga. Pilihannya: lagi-lagi ngegym. Apalagi coba pilihan olahraga di kota besar macam itu.

Tapi hati kecil saya enggak rela kalau ngegym bayarnya sekian ratus ribu cuma kepakainya satu-dua kali (untung-untung) dalam seminggu. Masih harus parkir, kena macet, gini gitu, ujung-ujungnya ngegym cuma pengen treadmill. Timbul ide lain: kenapa gak jogging aja ya. Toh kompleks perumahan tempat saya tinggal di area Serpong cukup asri dan rindang. Tenang pula.  Di saat yang kurang lebih bersamaan, ada satu outlet Nike yang buka di ruko perumahan saya. Katanya barang yang dijual di sana harganya lebih miring daripada harga outlet di mall. Saya coba main ke sana. Iseng aja sih.


Ketemulah saya dengan satu sepatu lari modelnya biasaaaa banget, warnanya dominan hitam. Kata teman saya 'ini kayak sepatu ideal jaman sekolah dulu yang wajib pake warna hitam. (Baca: membosankan)' Saya coba iseng mainkan bagian ujung sol sepatunya. Ehhhh lentur dan ringan banget... Enak bangeeeett. Saya coba tanya ke pramuniaga ukuran yang sesuai dengan saya, beliaunya lanjut memberikan keterangan tentang sepatu itu.

"Mbak, ini sepatunya bisa dikasih chip lari nya Nike loh."

"Chip gimana ya maksudnya?"

"Ini loh di sol kiri dalamnya ada tempat untuk taruh chipnya nike. Yang bisa connect sama Ipod. Sebentar saya ambilkan contoh chip nya."



Saya baru inget. Di Ipod Touch 3rd gen saya, ada apps bawaan namanya Nike+, saya pernah coba mainin dulu, tapi selalu terhenti di bagian 'searching for your shoe sensor.' Karena dasarnya saya juga bukan orang yang suka otak-atik, ya sudah saya cuekkin aja. Ya sensor begituan paling cuma ada di Amerika sono, pikir saya #katrok. Fungsinya sampe kaya gimana saya juga ga minat cari. Lebih minat sama sepatu lari hitam yang super nyaman dengan harga miring (disc. 50% lebih), saya langsung beli sepatunya. Iseng, beli chip nya juga deh. Mumpung harga juga miring.

Besoknya, saya langsung coba konekkan chip tersebut dengan apps Nike+ di Ipod yang ternyata cukup user friendly. Daaaaan, wow! Sangat menarik! Semuanya terukur. Jarak, waktu, kalori, bahkan average pace (rata-rata kecepatan untuk menempuh jarak per km). Kita bisa mengatur target lari kita hari itu, entah berdasarkan jarak, waktu, atau kalori. Ada pula voiceover yang akan membantu mengingatkan sudah sejauh apa jarak/waktu/kalori yang kita tempuh. Ipod yang selama ini kalau untuk lari cuma saya gunakan sebagai teman mendengarkan musik sekarang fungsinya jadi lebih! Serasa punya manager lari yang mencatat dan mengingatkan detail lari yang saya kehendaki dan sudah saya tempuh!



Dari segi fitur sih sebenarnya itu fitur lumayan standard. Di treadmill digital rata-rata data dasar begituan juga terukur. Tapi pada era 2011-2012 begitu, smartphone dan gadget lifestyle berGPS yang mobile (gampang dibawa ke mana-mana) belum terlalu familiar bagi saya. Jadi menyadari bahwa gadget yang selama ini saya miliki bisa dipergunakan seperti itu, serasa menarik sekali. Performa lari pun jadi bisa sangat terukur. Nike+ juga terintegrasi dengan website 'social media'nya www.nikerunning.com yang membuat kita bisa 'pamer' aktivitas lari di social media facebook dan twitter (di era itu instagram, Path belom ada/ populer) semacam 'I've just run 10km with Nike+ with time 01.06.35, pace 6'30''/km.

Ada juga fitur-fitur 'alay tapi menyenangkan' seperti pemberian award-award 'gak penting tapi bikin semangat' ketika kita mencapai prestasi-prestasi kecil dalam aktivitas berlari kita. Seperti 'Lari sekian kali ber turut-turut dalam minggu itu', mencapai nilai km atau kalori tertentu, memecahkan personal best rekor waktu, dsb. Intinya, strategi marketing Nike menggandeng Apple ini sangat tepat sasaran untuk segmen pasar seperti saya. Pelari amatir yang mulai rutin berlari, dan lumayan aktif di social media.

Mulai Serius Berlari, Jakarta International 10k

Dari data yang tercatat di Nike+ itu, saya juga mulai evaluasi performa lari saya. Awalnya saya cukup merasa bangga dengan waktu dan jarak tempuh lari saya yang sudah bisa stabil di angka 'lari terus-terusan selama 30 menit itu.' Secara saya tahu, orang yang tidak pernah lari, untuk bisa lari tanpa berhenti selama 5 menit saja akan ngos-ngos an setengah mati. Hingga suatu hari saya iseng melihat satu event lari yang diselenggarakan Jakarta setiap tahun untuk merayakan hari jadi kotanya. Nama eventnya Jakarta International 10K. Lari dari monas dan finis lagi di monas setelah menempuh rute 10k di area Jakarta Pusat sono. Eventnya gratis. Rutin diadakan sekitar 5-6 tahun belakangan untuk senang-senang saja, semacam kampanye sosial pemda untuk membuktikan bahwa Jakarta adalah kota yang aman dan nyaman seteleh serentetan kejadian terorisme dan huru-hara yang menimpanya. Saya memberanikan diri untuk mendaftar. Toh ini event senang-senang. Pesertanya aja targetnya 15,000 orang. Asal experience aja ah gimana lari 10km.

Dari record tempuh lari di nike+ saya rata-rata masih 4-5km waktu itu. Kecepatan rata-rata juga 'cuma' sekitar 8 menit per km. Saya coba cek daftar 100 besar pemenang tahun lalu, kategori 'non atlet'. Apaaa?? Kaget sekali saya karena rata-rata pelari wanita non-atlet yang masuk di kategori 100 besar kecepatannya mencapai 6 menit per km. Sehingga jarak tempuh untuk 10km hanya sekitar 1 jam. 'Wah kalo begini waktu saya sih ya masih jauh banget dari standard yang ini.' Dari situ saya baru sadar. Langit itu tidak terbatas. Selama ini saya lari cuma untuk diri sendiri dan berpuas-puas sendiri saja. Merasa sudah cukup, tidak ada tantangan, merasa sudah yang paling 'hebat.'

Jakarta International 10k adalah event lari pertama yang memotivasi saya untuk berlari, menetapkan, dan berusaha mencapai target pribadi. Pertama yang saya coba raih adalah jarak tempuh. Mencapai 10km dengan berlari serius sungguh tidak mudah. Satu kali putaran kompleks perumahan saya adalah 6km. Dengan kecepatan saya yang masih 8 menit per km waktu itu, saya lari sekitar 50 menit. Wah itu sudah 'tersiksa' sekali rasanya. "Hahh.. segini lama dan jauh ini masih 6km? Kalo 10km berarti 1 puteran lagi dong." Makanya saya jujur agak heran juga ngeliat orang yang dengan gampangnya daftar event lari dan pilih 10km padahal nggak pernah olahraga apa-apa sebelumnya. Pokoknya pilih yang paling pendek aja, paling gampang gitu kali pikirnya. Setelah mulai terbiasa dengan jarak tempuh 10km, saya mulai fokus memperbaiki kecepatan. Dari 8 menit per km, saya mulai bisa menikmati perubahan menjadi 7 menit per km hingga akhirnya di bawah 7 menit. Begitu terus saya latih dan saya coba pertahankan sehingga bisa memberikan waktu yang terbaik waktu hari-H

Mengulang Mantra

20 Mei 2012. Tiba hari perlombaan lari 10km pertama saya. Dari garis start, ribuan pelari melewati saya. Beragam kekhawatiran timbul di benak saya,

“Apakah saya akan menjadi yang paling belakang?”
“Apakah saya berlari terlalu lambat?”

“Pokoknya terus lari dengan kapasitasmu. Jangan berhenti. Saya pasti bisa. Sampai garis finish, " memori tips dari Guru Olahraga SMP saya tersebut terus berulang menyemangati saya.

Melewati 4km, cuaca terik begitu menyengat, benak saya kembali mengeluh,
“Ya ampun, ini berat sekali. Ada apa sih saya susah-susah lari seperti ini?”

Melewati kilometer ke 8,
“Saya sudah tidak sanggup lagi. Ini konyol. Ini gila. Saya mau jalan saja. Saya mau berhenti.”

“Pokoknya terus lari. Jangan berhenti. Saya pasti bisa. Sampai garis finis,” memori kegigihan ketika SMP menyelesaikan sepuluh kali putaran itu terus berulang.

Melewati kilometer ke 9,
“Saya sudah tidak sanggup lagi. Sepertinya saya harus berjalan habis ini.”
“Pokoknya terus lari. Jangan berhenti. Saya pasti bisa. Sampai garis finis.”

400 meter terakhir,

“Terus terus. Sampai garis finis.
Ayo Ayo! Sampai garis finis.
Jangan berhenti sebelum sampai garis finis!!”


20 Mei 2012,
Saya menyelesaikan perlombaan lari 10km pertama saya, urutan ke-97 dari sekian ribu pelari perempuan yang ada, dalam tempo 1 jam 8 menit. Salah satu rekor lari 10km terbaik saya hingga hari ini.

Hari itu saya memutuskan akan lari jarak jauh lebih serius. Bagi saya, apa yang dialami selama pertandingan lari itu persis seperti metafora pergumulan kehidupan secara nyata.

“Menyelesaikan pertandingan kehidupan hingga garis finis atau berhenti di tengah masalah karena alasan apapun. Itu pilihan kita.”


Dan dari sinilah, perjalanan saya kembali berlari dimulai.





No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...