Friday, January 30, 2015

Alvin: Persahabatan Dramatis Tanpa Basa-Basi


Oleh: Valencia Leonata

Banyak orang mengenalnya dengan panggilan JAK. Meski saya yakin nggak semua paham bahwa JAK itu adalah kependekan dari Johan Alvin Khosuma, tapi saya toh tetap lebih terbiasa memanggil pria yang hampir selalu mengenakan kacamata minusnya ini dengan nama tengahnya, Alvin. Sederhana, karena sejak awal kenal dia, saya biasa memanggilnya seperti itu. Dia pernah protes ke saya, “Kok kamu manggil Yan pake ‘Ko’, tapi kalo manggil aku Alvin aja sih? Padahal aku sama Yan kan seumuran.” Waktu ditanya begitu sih saya cuma cengar-cengir saja menjawab dengan asal, “Habis Yan lebih pantes dipanggil ‘Ko’ daripada kamu.”

 Alvin, Sobat Lawas, Bukan Koko
Bukan bermaksud tidak sopan. Agaknya, persahabatan saya dengan Alvin memang terasa seperti itu. Tidak perlu basa-basi, hanya karena dia lebih tua empat tahun dari saya maka saya harus menggunakan sapaan khas budaya kecinaan tersebut. Dan memang bonding kami lebih terasa sebagai dua sosok pribadi yang bersahabat dan berusia sepantaran dibandingkan hubungan ala koko-meme. 21 Desember 2014, di hari ulang tahunnya yang ke-30 ia menodong saya untuk minta ditulis. Tentang dirinya sendiri. “Len, hari ini kan aku ulang tahun ke-30. Jadi aku bisa ya request, nuliso tentang aku ya. Kamu kan sebagai orang yang cukup kenal aku dari lama, dan aku juga cukup suka karya tulismu.” See? Bukan cuma saya kan yang gak pake basa-basi. Mungkin bagi orang yang selama ini mengenal Alvin sebagai ‘jagoan belakang layar’ akan menganga tidak percaya bila sisi narsisnya ternyata juga cukup eksis.

Masih seputar nama ‘Alvin.’ Menyebut-nyebut nama Alvin tentu tidak bisa lepas dari buah karyanya yang sangaat identik dengan dunia perfilman. Entah itu dalam sajian teater live, film pendek, film panjang, atau sekedar iklan promosi acara tertentu. Dan saya bisa dibilang cukup beruntung menjadi salah satu orang yang pernah menyaksikan hampir semua filmografinya dari era naskah ketikan Microsoft Word hingga menggunakan aplikasi khusus ala penulis naskah profesional. Dari era tampilan karya dalam bentuk drama live ala teater, video handycam, menggunakan audio dubbing, fasih memanfaatkan software editing, hingga bereksperimen dengan omnibus maupun karya dokumenter. Kesetiannya menekuni dunia perfilman bisa disandingkan dengan kesetiannya dalam mencintai timnas Italia.

Lahirnya Si Filmmaker di Camp Pelajar
Jauh sebelum penggemar nasi goreng Jawa ini produktif dengan karya film digitalnya (yang berbasis video), saya masih ingat karya paling pertamanya yang bagi saya merupakan embrio menetasnya talentanya di bidang perfilman. Waktu itu usia saya sekitar lima belas tahun, berarti usia Alvin sekitar 19 tahun. Kami sama-sama mengikuti camp pelajar dan tergabung dalam kelompok yang berbeda. Masing-masing kelompok ditugaskan menampilkan pertunjukan talenta di malam terakhir camp, waktu acara api unggun. Ketika kelompok lain (termasuk kelompok saya) sibuk menari-nari dan menyanyi-nyanyi, kelompok Alvin menyuguhkan penampilan yang berbeda sendiri.
Berbekal hanya dua batang bambu sederhana yang diberdirikan di sisi kiri dan kanan sebagai simbolis ‘layar’, Alvin menyutradarai karya ‘perdananya’ (bagi saya, itu merupakan karya perdananya), sebuah siaran singkat bak infotainment yang menampilkan reka ulang momen-momen yang berkesan sepanjang camp 3 hari 2 malam tersebut. Kentara sekali, Alvin yang mengambil peranan memberikan ide-ide kreatif seputar pemilihan adegan yang berkesan, termasuk quote dialog serta penyampaiannya dalam gerak. Alvin si film maker mulai kelihatan biangnya di sana.

Habis itu, seakan sepak terjang passion nya dalam dunia perfilman makin tak terbendung. Salah satu karya suksesnya yang tidak sempat saya saksikan, tapi sudah berkali-kali saya dengar ceritanya secara detail dari dirinya adalah drama kelas bahasa Inggris nya yang sempat mewakili SMA nya untuk dilombakan dan memperoleh juara. Di masa SMA-nya, karya-karya drama teaternya yang kerap ditampilkan di acara gereja sangat kental dengan unsur komedi. Komedi cerdas dengan tokoh kebanyakan cowok yang tidak disangka-sangka bisa mengocok perut para audiensnya. Sukar dipercaya mungkin bahwa naskah cerdas tersebut ditulis oleh pria berperawakan jangkung kurus yang sehari-harinya cenderung pendiam dan jarang tampil di depan umum. Beruntung dia didukung oleh sederetan cast yang sangat kompak dan ‘tidak takut malu.’ Cast yang tidak lain dan tidak bukan adalah brothers komselnya sendiri.

Hingga saat ini saya merasa brothers tersebut sangat membantu proses pertumbuhan Alvin dalam berkarya. Dari mereka lah Alvin mulai memupuk sense menulis, mendirect, dan menerima komentar dari audience. Di sisi lain, setiap produksi karya tersebut juga menumbuhkan kedekatan antar brothers tersebut. Ada suatu ikatan tersendiri pastinya mengikuti sebuah proses cukup panjang dari latihan berkali-kali, menampilkan karya, penampilan all out yang disambut hangat audience hingga akhirnya mengenang-ngenang kisah seru di balik proses tersebut. Sebuah fase yang tampak biasa saja tapi berharga dan tanpa disadari mempererat hubungan para aktor yang terlibat di dalamnya.

Meski batal kuliah film, memasuki era perkuliahan Ilmu Komunikasi, ketika sudah makin mengenal dunia digital, Alvin mulai menghembuskan influence video digital ke dalam karya-karyanya. Didukung dengan teknik plus pengalaman hidup yang lebih matang, ide karyanya mulai berkembang lebih kompleks tidak melulu tentang komedi. Sentuhan satir, drama, permainan emosional yang dramatis, ketegangan dan sedikit action mulai mewarnai karya-karyanya. Pembawaannya yang konsisten kalem ketika mendirect proses shooting terkadang mungkin kontras dengan adegan gadis depresi yang mau bunuh diri, kejar-kejaran agen rahasia, atau pertarungan komikal pendekar silat perguruan Cina.

Karya-karyanya lebih mengutamakan ide cerita yang sederhana tapi kuat. Tidak sarat efek kompleks, aktor aktris tampan cantik, maupun setting lokasi yang mewah. Taman Bungkul bisa jadi lokasi pertemuan transaksi informasi rahasia, Pantai Kenjeran menjadi arena pelatihan pendekar, dan cermin bisa menjadi twist ending sebuah film drama berbasis monolog. Kepiawaiannya dalam menyatukan ide cerita yang renyah, sinematografi, dialog efisien, serta sentuhan akhir editing pemanis yang membuat semuanya nampak cantik dalam porsi pas. Satu hal yang selalu ada mewarnai karya-karyanya adalah nilai-nilai dasar tentang Kekristenan yang memang begitu mempengaruhi kehidupan pribadi Alvin. Hampir di setiap solusi konflik yang ditawarkannya, selalu ada Yesus dan nilai-nilaiNya. Sesuatu yang dengan keyakinan ia tidak mau tanggalkan, bukan apa-apa, karena dia sendiri sudah mengalaminya, dan ia hendak berbagi tentang hal-hal manis dan luar biasa yang ia lalui bersama Yesusnya.


Cinta Bersemi di Dunia Blog 

Selain produktif sebagai seorang film maker, di awal karirnya yang banyak bergerak di bidang multimedia, Alvin mulai mencintai dunia menulis dalam wadah blog. Masih tidak jauh-jauh dari dunia film, toh selama ini hampir semua film hasil karyanya, naskahnya juga biasa ditulis oleh dia sendiri. Keterlibatan aktifnya dalam menulis blog di kala itu hampir bersamaan dengan masa ketika dia mulai suka bereksplorasi dengan dunia desain grafis. Hampir sama seperti gayanya dalam berkarya di film, tulisan blog maupun gaya design nya cenderung sederhana dan tidak begitu bertele-tele. Topik yang diangkat bisa tentang pengalaman pribadinya dengan Yesus, kesukaannya terhadap sepak bola, review film yang ia tonton, hasil karya dalam pekerjaannya dan juga mimpi-mimpinya. Hingga suatu hari. Ada yang berbeda dari apa yang ia tulis.

Sebagai salah seorang blogger yang aktif bertegur sapa pada posting-postingannya, saya menjumpai topik posting baru yang sangat tidak lazim disinggung oleh Alvin. Dia mulai menambahkan label topik ‘L’ di salah satu postingnya. Dan postingannya mulai mellow. Tampaknya, Alvin sedang jatuh cinta. Pernah sekali ia menuangkan perasaannya yang susah tidur karena bayangan tentang ‘seseorang’ tersebut terus-terusan menyerbu benaknya. Untungnya, posting-posting galau berlabel ‘L’ tersebut ternyata tidak butuh waktu terlalu lama untuk berlanjut. Karena toh penghuni blog di seberang sana, ternyata mulai melancarkan sinyal-sinyal bernada mirip. Ribuan matahari itu boleh berseri-seri karena kedatangan madu manis dari lebah tetangga. Effort saling flirt via blog antara thousandsunny.blogspot.com dan debbyadiwidjaja.blogspot.com boleh berbuah lebih jauh. Dua blogger yang juga vintage- geek ini resmi memulai petualangan kasih penuh iman tak jauh setelah simbol-simbol panah cupid tersebut mulai nampak di masing-masing postingan. Saya yang memang pada dasarnya adalah pembaca setia kedua blog tersebut, dan mengenal cukup dekat keduanya cuma bisa ikutan tersenyum. Si Sutradara akhirnya kebagian plot love story yang seru juga ya!

Kisahnya dengan Twelvie Einstein (karakter buatan Alvin di salah satu film karyanya yang diperankan oleh Debby) berikutnya melaju bak roller coaster yang patut diabadikan suatu hari dalam karyanya (i think you should do that , Vin!). Menegangkan, dramatis, dan tidak tertebak. Mungkin seperti gabungan semua genre film yang dia pernah buat. Ada thrillernya, ada actionnya, tetap ada komedinya, dan banyak dramanya! Tapi toh ditutup dengan ending yang manis. J Dua tahun yang lalu, tepat di hadapan Tuhan dan jemaat, di lokasi yang bak rumah keduanya, yang diberi sentuhan vintage-handmade impiannya, dua sejoli ini resmi mengucapkan janji sehidup semati, untuk membentuk keluarga bersama. One of the magical wedding I’ve ever seen. Karena saya memahami kisah perjalan dan segala lika-likunya dari awal hingga di titik itu.     

Dramatisnya Bersahabat dengan Alvin
Bersahabat dengan sutradara ya memang sepertinya tidak jauh dengan peristiwa yang seakan diset dramatis. Salah satu yang paling saya ingat adalah yang ini.
14 Februari 2012. Tepat di hari Valentine. Pukul tujuh pagi. Alvin yang paling tidak hobi mencampuri urusan pribadi (baca: berita kabar burung) orang lain ini, tiba-tiba menelpon saya yang di kala itu masih kuliah di Jakarta. Agak kaget waktu menerima panggilannya, karena semenjak saya di Jakarta, kita agak jarang berkontak. Texting aja jarang. Apalagi telepon. Pagi-pagi lagi. Ada apa gerangan? Sekali lagi, tanpa basa-basi dia langsung menanyakan pada saya tentang sesosok ‘nama’ yang hanya beberapa orang terdekat di sekitar saya yang paham siapa di balik ‘nama’ itu dan apa kaitannya dengan saya.

“Halo len, gimana kamu dengan Si X sekarang?”

Agak kaget mendengar pertanyaan out of the blue nya, saya hanya menjawab standard, “Hah? Emang kenapa. Ya nggak ada apa-apa. Begitu-begitu aja.”

Sedikit terdiam, tiba-tiba nada bicaranya jadi berubah melembut. Khas dia ketika justru berupaya menghaluskan situasi yang mungkin mulai terasa menegangkan.

“Hmm.. Nggak papa. Aku janji besok akan telpon dan cerita ke kamu ya. Tapi nggak hari ini. Batereiku mau habis.”

Luar biasa! Jawaban macam apa coba itu. Perasaan ini hari Valentine deh, bukan April Mop. Kok bisa tiba-tiba mengangkat topik sangat sensitif lalu semena-mena membiarkannya begitu saja. Dasar tidak bisa bohong. Mana bisa saya percaya dengan alasan baterei habis! Dibilang begitu, saya si Miss Spoiler (julukan yang Alvin berikan buat saya) tentunya makin penasaran. Ini ada apa sih dengan Si X. Kok jadi penuh misteri. Firasat saya mulai nggak enak. Singkat cerita, hari itu saya mencoba mencari tahu dan mulai mendapat gambaran tentang situasi apa yang hendak disampaikan Alvin ke saya.

15 Februari 2012. Tepat sesuai janji sehari sebelumnya, Alvin kembali menelpon saya di pagi hari.
“Hey Len. Sori ya kemarin aku nggak langsung ngomong. Aku aslinya paling nggak suka ikut campur beginian. Tapi, karena aku tau kamu dan kenal kamu dari lama dan tau bagaimana perasaanmu selama ini ke dia, makanya aku harus ngomong.”

Dan mulailah dia menyampaikan runtutan fakta yang dia saksikan sendiri mengenai sosok yang mengisi harapan saya selama beberapa tahun terakhir di kala itu, yang sepertinya tidak sepatutnya diharapkan lagi. Saya, yang sudah merasakan percikan firasat tersebut, akibat sentilan topik dari Alvin kemarinnya, hanya bisa terdiam mendengar pemberitaan fakta tersebut. Dalam keheningan saya, Alvin mengakhiri ending ceritanya yang sekaligus menguak misteri ‘kenapa batereinya habis kemarin’,

“Sori ya Len. Aku nggak mau ngomong kemarin, soalnya aku nggak mau ngasih memori buruk tentang hari Valentine mu. Jadi aku milih ngomongnya hari ini.”

........... -.-

Kayaknya gara-gara didramatisir pake diundur-undur bukan di hari Valentine saya justru sampai sekarang makin keinget kejadian hari itu deh. Ini orang luar biasa. Bakat alam sutradaranya mendramatisir suasana bahkan keluar sampai di saat-saat seperti ini. Anyway, tapi Alvin memang selalu seperti itu. Dengan polosnya selalu berupaya memikirkan perasaan orang lain, supaya jangan sampai tersakiti. Khususnya untuk momen yang dia tahu memang itu bakal menyakitkan. Di sisi lain, saya sungguh menghargai keberaniannya untuk memaparkan fakta yang mungkin terdengar menyakitkan itu, tapi baik bagi saya. Bagi saya peristiwa di hari kasih sayang sedunia itu merupakan bukti persahabatan sejati antara Alvin dan saya. Persahabatan yang tidak hanya berani menyinggung apa yang manis saja, tapi apa yang benar bagi kehidupan kami masing-masing. Meski awalnya terasa pahit.

Suatu waktu, sebaliknya, saya pernah mempresentasikan pemikiran-pemikiran tajam saya tentang konsep berbisnis lawasnya yang menurut saya lebih cocok dibilang kerja amal. Lagi-lagi karena dia terlalu memikirkan perasaan orang lain, jadinya dia melulu yang dirugikan. Saya tidak berupaya mengubah pemikirannya, hanya memberikan penegasan pada indikasi apa yang sebenarnya sudah dia mulai pahami sendiri. Karena sama seperti berbagai hal besar yang telah ia lalui sebelumnya, bagi saya ketulusan Alvin sudah membawanya ke sebuah jawaban yang dia sudah pahami. Hanya mungkin, kurang sosok yang berani meneguhkan jawaban tersebut ketika kelembutan perasaannya mulai menyeruak. Dan saya bersyukur karena sepertinya obrolan panjang lebar di restoran seafood hari itu bisa memberikan pencerahan tersendiri baginya. Paling tidak itu yang saya lihat dalam sepak terjang bisnisnya yang sekarang. Berkembang pesat dan tampak begitu delicious dalam perjalanannya.  


Dreamer Sidekick
Tidak dirasa persahabatan saya dengan Alvin sudah menginjak usia hmm dua belas tahun mungkin? Tidak terhitung beberapa kolaborasi proyek acara gereja yang sudah kami kerjakan bersama. Seiring segala pertumbuhannya dalam berkarya, berbisnis, berelasi dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan eskalasi berat badannya yang siginifikan, saya bersyukur bisa melalui experience bentuk persahabatan antara pria dan wanita yang murni. Sidekick yang bisa mendukung impian satu sama lain tanpa perlu adanya romansa platonis. Rasanya seperti, punya teman seangkatan di universitas jurusan mimpi dalam fakultas kehidupan kami masing-masing. Mungkin seperti Mira Lesmana dan Riri Riza. Produser-Sutradara yang saling seru membicarakan proyek bersama.
Jujur, dia dan request proyek narsis profil usia 30 tahunnya ini yang membuat saya merindukan menulis panjang lebar kembali, setelah vakum hampir setahun dalam dunia blogging.  Saya memang selalu merasa bebas bercerita tentang mimpi berkarya di dunia media pada Alvin. Tanpa takut dicibir atau ditertawai, meski realita kini membawa saya menjadi manager serba-serbi perusahaan keluarga yang bergerak di distribusi makanan. Itu salah satu sebabnya saya berani memilih dia sebagai kontraktor utama pembangunan rumah baru menulis saya, yang ironisnya masih belum saya tempati dengan maksimal. Eh tapi, tulisan ini bisa jadi salah satu profil terpanjang yang pernah saya tulis, yang luar biasanya, tanpa melalui proses wawancara sepatah kata pun dengan narasumbernya. Hanya mengandalkan memori yang terbentuk selama ini antara saya dan dia. Sungguh teknik pengumpulan dan penulisan berita yang keluar dari setiap teori jurnalistik baku. J And I can’t deny that I am really enjoying this kind of writing.

Sekarang sih saya belum update lagi bagaimana dengan mimpi-mimpinya yang baru. Tentang dunia perfilman, tentang rencana bisnis apparel di industri kreatif, tentang mimpinya sebagai seorang pemimpin keluarga, tentang rumah impiannya, tentang negara destinasi impiannya (selain Italia maybe?), tentang mimpi wanita yang paling dicintainya di dunia, tentang komunitasnya, atau tentang usaha penurunan berat badannya. Nanti toh dia akan update sendiri. Dalam bincang-bincang komsel, ngopi bersama dia dan istrinya, atau mungkin stalking lewat dailycious.me nya yang mulai hidup. Atau mungkin sewaktu-waktu saya ngeloyor aja bbm dia dan tinggal langsung nanya,
“Eh jadi gimana mimpi kamu jadi bungkring lagi?”

 Tanpa basa-basi.
Well yeah, that’s us.

1 comment:

  1. Congratulation for the first post on 2015!!!! Aku super yakin dari post ini akan lahir puluhan bahkan ratusan post2 yang lain sepanjang 2015 ini. Melihat angka2 mengenaskan di post archive mu sungguh memprihatinkan hahahhaa

    For me...this writing is a masterpiece which inspire me to write more...to make people happy with our writing. That's what i experienced when read this. I value this writing more than you can think Valen. Thank uou for the effort and i cherish you to spread the talent to inspire your readers more and more...this writing remind me that we have a great friendship in Christ.

    Ps: bagian emo-kau-tahu-yang-mana bikin aku dan debby ngakak...one of the best part hahahah

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...